Mungkin Komunitas ini tidak asing lagi di kalangan fotografer yang sudah berjibaku di dalam dunia yang sangat gue kagumi ini ahahahaha
Inilah logo KLJI lebih jelasnya KAMERA LUBANG JARUM INDONESIA;
KAMERA LUBANG JARUM (KLJ) adalah kamera yang bisa dibuat dari kaleng atau dus yang dilubangi sebatang jarum yang di Indonesia ditemukan kembali oleh fotografer Ray Bachtiar Dradjat dan pada tanggal 17 Agustus 2002 mendirikan KLJI, yaitu perkumpulan pemain KLJ yang hingga kini sudah tersebar di lebih 10 kota besar Indonesia. Prestasi yang diraih hingga kini antara lain: dijadikan pelajaran dasar fotografi di Media Rekam ISI Jogja dan institusi lainnya, melahirkan instruktur-instruktur tangguh, hingga mencetak Sarjana KLJ. Meski KLJ bukan alat yang sempurna, namun terbukti bisa mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan olah fisik. KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa. Maka sangat pantas jika KLJ digunakan sebagai kendaraan untuk “pendidikan” dan juga “seni”.
SEJARAH:
Teknologi fotografi bermula dari keinginan manusia yang nyatanya
memang menjadi tuntutan kebutuhan untuk bisa merekam gambar sepersis
mungkin. Maka digunakanlah kotak penangkap bayangan gambar, sebuah alat
yang mulanya untuk meneliti konstelasi bintang-bintang secara tepat
yang dipatenkan seorang ahli perbintangan, Gemma Frisius, tahun 1554.
Namun cikal bakalnya sudah dimulai oleh penulis Cina, Moti, pada abad
ke-5 SM, Aristoteles pada abad ke-3 SM, dan seorang ilmuwan Arab ibnu
al Haitam atau Al Hazen pada abad ke-10 M. Kemudian pada tahun 1558
ilmuwan Itali. 3Giambattista
della Porta menyebut “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu
pelukis menangkap bayangan gambar.
Awal abad ke-17, Angelo Sala, ilmuwan
yang berkebangsaan Italia menemukan proses “jika serbuk perak nitrat
dikenai cahaya warnanya akan berubah menjadi hitam”. Selanjutnya
berbagai percobaan pun dilakukan. Hingga tahun 1824, seorang seniman
lithography Perancis Joseph-Nicéphore Niépce (1765-1833), setelah 8 jam
meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya melalui proses
“Heliogravure” di atas plat logam yang dilapisi aspal, berhasil
melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan berhasil pula
mempertahankan gambar secara permanen. Kemudian ia pun mencoba
menggunakan kamera obscura berlensa. Maka pada tahun 1826 lahirlah
sebuah “foto” yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi.
Merasa kurang puas, tahun 1827 Niépce
mendatangi desainer panggung opera yang juga pelukis, Louis-Jacques
Mande’ Daguerre (1787-1851) untuk mengajaknya berkolaborasi. Sayang
sebelum menunjukkan hasil optimal, Niépce wafat. Baru pada tanggal 19
Agustus 1839, Daguerre dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil
membuat “foto yang sebenarnya”: sebuah gambar permanen pada lembaran
plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin yang disinari selama
satu setengah jam cahaya langsung dengan pemanas mercuri (neon). Proses
ini disebut daguerreotype. Untuk membuat gambar permanen, pelat dicuci
larutan garam dapur dan air suling.
Di Inggris beberapa bulan sebelumnya,
tepatnya 25 Januari 1839, William Henry Fox Talbot (1800-1877)
memperkenalkan “lukisan fotografi” yang juga menggunakan camera
obscura, tapi ia buat positifnya pada sehelai kertas chlorida perak.
Kemudian pada tahun yang sama Talbot menemukan cikal bakal film negatif
modern yang terbuat dari lembar kertas beremulsi yang bisa digunakan
untuk mencetak foto dengan cara contact print, juga bisa digunakan
untuk cetak ulang layaknya film negatif modern. Proses ini disebut
Calotype yang kemudian dikembangkan menjadi Talbotypes. Untuk
menghasilkan gambar positif Talbot menggunakan proses Saltprint. Gambar
dengan film negatif pertama yang dibuat Talbot pada Agustus 1835
adalah pemandangan pintu perpustakaan di rumahnya di Hacock Abbey,
Wiltshire – Inggris.
Dan di Indonesia, tahun 1997, saat
teknologi digital mulai booming, saya yang mulai menggunakan kamera
digital karena tuntutan pekerjaan sebagai profesional fotografi pun,
mulai resah. Saya tidak anti digital, tapi saya pikir di dunia
pendidikan fotografi lebih baik jika “mengetahui sesuatu dari dasarnya
dulu”. Maka berawal dari sukses memotret pagar depan rumah tinggal
dengan menggunakan KLJ kaleng susu 800 gram dengan negatif kertas Chen
Fu tahun 1997, digelarlah workshop perdana pada tahun 2001 di lokasi
pembuangan sampah Bantar Gebang dengan asisten instruktur Ipoel,
didukung Galeri i-see, dan disponsori Kedutaan Belanda. Akhirnya,
September tahun 2001 terbitlah buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG
JARUM” terbitan Puspaswara. Saya menyebut pinhole camera dengan sebutan
Kamera Lubang Jarum (KLJ) karena konsep dasar inovasinya berbeda. Saya
tidak terlalu mempermasalahkan “teknik”, tapi mencoba menularkan “rasa
yang mendalam” dengan menggunakan kata kunci khas Indonesia:
“secukupnya”. Selanjutnya, digelarlah workshop tour “gerilya” di Jawa,
Bali, bahkan Makassar, hingga pada 17 Agustus 2002 berani
memproklamirkan KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA (KLJI) sebagai
komunitas para pemain KLJ.
Sebagai sebuah filosofi KLJI sebenarnya
tidak mempersoalkan masalah “kamera”, tapi makna “lubang jarum” lah
yang kami garis bawahi. Karena lubang jarum bisa berarti kondisi dimana
saat sulit datang bertamu dan pada saat seperti itu kita harus mampu
meloloskan diri. Pantas jika Leonardo Da Vinci menyatakan: “Siapa yang
akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam
semesta”, karena terbukti KLJ mengajak kita untuk berada dalam suatu
ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan bahkan olah
fisik. Tetapi ruang itu harus kita penuhi dengan aksi-aksi nyata.
Sesungguhnyalah, KLJ menawarkan pemanjaan
idealisme yang luarbiasa. KLJ menawarkan seni proses yang sangat
melelahkan, tapi juga KLJ bisa sangat mengasyikkan. Mungkin hal itulah
yang menggelitik sehingga KLJ bagaikan virus. Sangat pantas jika KLJ di
Indonesia digunakan sebagai kendaraan untuk masalah “pendidikan” dan
juga masalah “seni”. Ini terbukti saat mengikuti “Gigir Manuk
Multicultural Art Camp” bulan september 2002 di Bali. KLJ di terima
para seniman Bali dengan tangan terbuka. Malah kami sempat
berkolaborasi bersama seniman lainnya seperti seniman lukis, tekstil
dan bahkan teater.
Pada buku ke-dua yang diterbitkan
Gramedia dalam bentuk majalah edisi Spesial Chip Foto Video bertajuk
“RITUAL FOTOGRAFI” pada tahun 2008, saya menekankan bahwa fotografer
harus melek digital tapi tetap menggarisbawahi pentingnya ber-KLJ;
bahkan pada peluncuran buku tersebut digelar workshop KLJ tingkat
lanjut yang selalu dicitakan sejak berdirinya KLJI 6 tahun silam,
mencetak foto dengan teknik cetak penemu fotografi, William Henry Fox
Talbot, abad 19, Saltprint. Dengan misi melahirkan kreator dan
Instruktur yang berkwalitas, juga jika suatu masa bahan KLJ seperti
kertas foto, developer, fixer, tidak lagi diproduksi akibat pasar yang
berubah menjadi full digital, popularitas KLJ tidak akan lenyap bahkan
seperti lahir kembali. Seperti sejarah lahirnya kamera beberapa abad
lalu. Bahkan mungkin bisa melahirkan 10 George Eastman “Kodak” versi
Indonesia serta bisa mencuri kembali waktu 100 tahun proses penemuan
yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia.
Tentu sangat ekslusif! Karena hanya
orang2 tertentu saja yang mampu membuat bahan KLJ dengan tangan mereka
sendiri (handmade). Bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan
orang-orang kreatif, peristiwa seperti itu bukan sebuah khayalan.
Membangkitkan kembali proses salt print, albumen print, cyanotype dan
banyak lagi, sepertinya bukan masalah besar. Terbukti keterbatasan alat
dan bahan yang selama ini menghantui, berubah menjadi kelebihan bahkan
pada akhirnya malah menjadi khas daerah. Sebagai misal, karena di
Jogja kaleng rokok mudah didapat lahirlah KLJ kaleng rokok, bahkan
ditemukan pula KLJ kaleng yang bisa menghasilkan distorsi yang
luarbiasa dan ini lahir dan menjadi khas KLJ Jogja. Tapi karena di
Malang kaleng susah didapat, maka lahirlah KLJ pralon bahkan lahir pula
seorang ahli kamera KLJ kotak tripleks. Dan di jakarta lahir kamera
KLJ “pocket” dalam arti sebenarnya, bisa dimasukan ke dalam saku.
Dan jika efek KLJ disebutkan tidak akrab
lingkungan, justru hikmahnya adalah kita dapat menyisipkan pesan dan
memperkenalkan cara menangani limbah yang ditimbulkan dalam proses
fotografi analog dengan benar. KLJ mengajarkan kita menata limbah dan
puing dunia menjadi lebih berarti. KLJ mengingatkan kita akan dunia
materi yang fana sekaligus menjadi alat untuk pendidikan jiwa,
penggemblengan rasa, dan eksplorasi kreativitas bagi para kreator
fotografi Indonesia.
KLJ bukan alat yang sempurna tapi
kendaraan untuk menjadi sempurna, meski hingga saat ini KLJI masih
sarat dengan berbagai ujian, saya tetap yakin, bahwa kita masih ada di
jalan yang benar.Kalo yang ini hasilnya dan peralatannya;
Ini Ilustrasi kerjanya gan;
Sumber: http://blog.unm.ac.id/diancahyadi/2010/04/17/kamera-lubang-jarum/
No Response to "Apa Itu Kamera Lubang Jarum?"
Posting Komentar