Farid's Habit

Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada tataran ilmiah, semi ilmiah, dan non ilmiah



  • Definisi Ilmiah

Bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan: penerbitan majalah -- berkembang dng pesat; -- populer bersifat ilmu, tetapi menggunakan bahasa umum sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam (tt artikel, gaya penulisan karya ilmiah);

meng·il·mi·ah·kan v menjadikan ilmiah atau bersifat ilmu; mengilmukan: ia tidak dapat hal-hal yang gaib


  • Definisi Wacana

Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain sehingga membentuk kesatuan. Implikatur konvensional dan implikatur percakapan, konteks wacana: situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.

  • Kohesi dan koherensi
  • Topik, tema, dan judul
  • Referensi dan inferensi
  • Skemata

A. Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada wacana tataran Ilmiah

Contoh wacana :

GENecom merupakan pabrik yang mengelola sebuah perusahaan bernama Wessex Water yang berhasil mengubah kotoran manusia dan sampah bekas menjadi gas metan.

Gas metan tersebut diolah lagi dengan menggunakan alat khusus yang akhirnya menjadi energi untuk menggerakkan kendaraan. Dalam hal ini, seperti dikutip dari Daily Mail (19/11), energi gas metan tersebut digunakan pada sebuah bus dan mencobanya untuk menempuh jarak sejauh 20 mil atau 32 kilometer. Read More


Mohammaed Saddiq, Director of GENeco menjelaskan, "Energi gas untuk kendaraan bermotor sangat bermanfaat dalam hal menjaga kualitas udara di Inggris."

Dia juga menjelaskan bahwa sumber dari energi (sampah dan kotoran tersebut) berasal dari orang-orang sekitar dan juga termasuk dari para penumpang bus itu sendiri.

Dalam penelitiannya itu, dalam sampah dan kotoran manusia tersebut terdapat bakteri yang mempunyai tugas untuk menguraikan benda-benda tersebut dan mengubahnya menjadi gas.

Setelah proses penguraian tersebut selesai, ada alat khusus yang dapat mengubahnya menjadi biogas atau biometan yang nantinya dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk kendaraan bermotor atau bahkan sebagai sumber tenaga untuk perangkat elektronik.

GENeco sendiri merupakan perusahaan pertama yang mencoba menggunakan gas yang berasal dari kotoran manusia untuk diaplikasikan sebagai bahan bakar bus.

Tentunya akan menjadi satu pemandangan dan juga bisnis yang menarik apabila hal tersebut dapat diaplikasikan di Indonesia mengingat banyaknya sampah di negeri ini dan juga dapat mendaur ulang kotoran manusia menjadi satu hal yang lebih berarti serta menjadi energi alternatif agar tidak terlalu tergantung pada BBM.


B. Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada wacana Semi - Ilmiah

Wacana pada Semi Ilmiah merupakan wacana yang karakteristiknya berada di antara ilmiah dan non ilmiah. Macam - macam wacana Semi Ilmiah :

Artikel, Editorial, Opini, Feuture dan Reportase. Contoh Bahasa Indonesia pada tataran semi ilmiah yaitu sebagai berikut :

Menurut laporan itu, Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO) memperkirakan bahwa 23 persen kematian di negara berkembang dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan seperti polusi. Selain kanker, paparan bahan kimia beracun dapat menyebabkan keracunan akut dan kronis, gangguan kognitif, kerusakan organ dan gangguan pernapasan. Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap dampak tersebut, kata laporan itu menambahkan.

Para peneliti mengatakan 10 situs yang dipilih berdasarkan tingkat keparahan risiko kesehatan yang ditimbulkan dan diprioritaskan dari berbagai jenis ancaman polusi di seluruh dunia.

Berikut adalah 10 situs yang terdaftar dalam laporan, sesuai urutan abjad:

1. Agbogbloshie , Ghana : Tempat pembuangan sampah ini di ibukota Ghana, Accra adalah area pemrosesan limbah elektronik terbesar kedua di Afrika Barat. Ketika seleubung kabel elektronik seperti microwave dan komputer dibakar untuk mengambil tembaga di dalamnya, partikulat logam muncul dalam asap dan tertinggal dalam tanah. Diperkirakan 40.000 orang yang terkena ancaman polusi ini.

Chernobyl, Ukraine | Foto: Blacksmith Institute

2. Chernobyl , Ukraina : Bencana nuklir terburuk di dunia di Chernobyl pada tahun 1986 mengeluarkan radiasi 100 kali lebih banyak daripada bom atom yang dijatuhkan di atas Hiroshima dan Nagasaki. Lesi kulit , penyakit pernapasan, infertilitas dan lahir cacat menimpa orang yang tinggal di daerah yang terkontaminasi di Belarus, Rusia dan Ukraina selama bertahun-tahun dan 4.000 kasus kanker tiroid dikaitkan dengan radiasi ini. Polusi dari Chernobyl diperkirakan telah mempengaruhi sekitar 10 juta orang.

3. Sungai Citarum , Indonesia : Lebih dari 500.000 orang terkena dampak langsung dan sekitar 5 juta orang secara tidak langsung oleh polusi kimia di Wilayah Sungai Citarum di Jawa Barat. Lead, aluminium, konsentrat mangan dan besi di sungai beberapa kali lebih tinggi dari rata-rata dunia karena polusi dari industri dan limbah domestik.

Dzershinsk, Russia | Foto: Blacksmith Institute

4. Dzershinsk , Rusia : Sebuah lokasi utama manufaktur kimia di Rusia, Dzershinsk memiliki tingkat polutan yang sangat tinggi seperti dioxin dan fenol dalam air tanah. Warga menderita penyakit kanker mata, paru-paru dan ginjal dan harapan hidup di kota ini hanya 47 tahun untuk perempuan dan 42 tahun untuk laki-laki hanya.

Hazaribagh, Bangladesh | Foto: Blacksmith Institute

5. Hazaribagh , Bangladesh : Industri penyamakan kulit yang menggunakan model lama, metode pengolahan usang dan tidak efisien untuk membuat kulit, menghasilkan 22.000 liter kubik limbah beracun setiap hari ke sungai utama kota, berdampak lebih dari 160.000 orang . Limbah ini termasuk zat kimia penyebab kanker, kromium heksavalen.

Kabwe, Zimbabwe | Foto : Blacksmith Institute

6. Kabwe , Zambia : Puluhan penambangan timah yang tidak teratur di kota ini Afrika telah menyebabkan masalah kesehatan yang serius bagi penduduk Kabwe , di mana lebih dari 300.000 orang diperkirakan akan menerima dampak polusi. Pada tahun 2006 , tingkat timbal dalam darah anak-anak di Kabwe, lima sampai 10 kali lipat lebih tinggi dari yang diperbolehkan.

7. Kalimantan , Indonesia : Kalimantan dan daerah sekitarnya telah terkontaminasi dengan merkuri karena penambangan emas skala kecil, berdampak beberapa 225.000 orang. Penambangan menggunakan merkuri dalam proses ekstraksi emas, menghasilkan emisi merkuri selama penggabungan dan proses peleburan.

Matanza Riachuelo, Argentina | Foto: Yanina Budkin / World Bank

8. Matanza Riachuelo , Argentina : Lebih dari 15.000 industri membuang limbah ke Sungai Matanza yang melewati Buenos Aires dan bermuara di Rio de la Plata. Kontaminan termasuk seng, timah, tembaga, nikel dan krom total (istilah yang mencakup dua bentuk kromium), membuat sumber air minum sekitar DAS Matanza – Riachuelo tidak aman, mengancam lebih dari 20.000 orang yang tinggal di daerah ini.

Niger River Delta, Nigeria | Foto: Terry Whalebone

9. Sungai Niger Delta, Nigeria : Tidak diketahui secara pasti berapa orang yang dipengaruhi oleh industri minyak dibagian padat Afrika, di mana hampir 7.000 insiden melibatkan tumpahan minyak antara tahun 1976 dan 2001. Laporan itu mengatakan bahwa sekitar 2 juta barel minyak yang diekstraksi dari delta setiap hari tahun lalu.

Norilsk, Russia | Foto: Stanislav Lvovsky

10. Norilsk , Rusia : Norilsk adalah kota industri di Siberia Rusia di mana setiap tahun hampir 500 ton masing-masing tembaga dan nikel oksida dan 2 juta ton sulfur dioksida yang dilepaskan ke udara. Harapan hidup bagi pekerja pabrik di Norilsk adalah 10 tahun di bawah rata-rata daerah Rusia lain.


C. Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada wacana Non Ilmiah

Cerpen Asembagus, Situbondo



Arum cepat-cepat melepaskan sandal jepitnya yang usang. Melipat celana panjangnya. Lalu, merendam kakinya buru-buru. Ia duduk di bibir sungai. Merendam kaki mungilnya di sungai kecil itu. Cara ini memang selalu ampuh melepas duka Arum. Dalam tatapan kosongnya, Arum terisak sedih kehilangan sahabat ‘tua’nya telah dibabat habis oleh orang-orang kekar yang membawa gergaji listrik.
“Paman pohon asam, semoga paman ditempatkan di surga, ya. Terimakasih sudah menemani Arum ketika belajar dan bermain. Kaso’on,” sambil memandangi buah asam yang ia ambil, Arum menahan air suci keluar dari pelupuk matanya.
“Wira,” tiba-tiba, terdengar suara lembut dari seorang pemuda. “Namaku Wira,” tegasnya sekali lagi ketika Arum menoleh ke arahnya. Pemuda itu mengulurkan tangannya. Mengajak Arum berkenalan. Kemudian duduk di sebelahnya.
Dengan nada canggung, Arum menyambut tangan Wira, “Arum.” Sejenak kemudian, Arum memaksakan senyumnya seperti anak usia 9 tahun kebanyakan, kemudian menunduk. Melihat kakinya yang digigit kecil oleh ikan-ikan kecil.
“Oh, ya. Maaf ya, kak. Arum harus cepat-cepat pulang. Takut diculik!” mata Arum melotot, membuat wajahnya amat menggemaskan. Karena Arum teringat sesuatu. Sesuatu yang selalu ibunya bilang. Hati-hati dengan orang asing.
Wira tersenyum, mengiyakan. Tatapan Wira seakan mengatakan : sebenarnya saya bukan orang asing, bahkan orang jahat. Kamu sebenarnya amat mengenalku, Arum.
“Arum?” Wira memanggil Arum saat Arum hendak memakai sandalnya.
“Buah asam ini?”
“Ah! Ya, kak. Terima kasih,” jawab Arum sambil mengambil asam yang ia jatuhkan ketika hendak berdiri dari tangan Wira.
“Daaah, Kak Wira!” Arum pergi sambil melambaikan tangan. Wira tersenyum sinis. Wira tiba-tiba menghilang, membias bersama cahaya yang menyilaukan.

Di tengah perjalanan pulang, Arum menjatuhkan buah asam yang dibawanya. Ketika Arum hendak memungutnya, seseorang tak sengaja menginjak buah asam itu, “Krekkk…” Entah apa yang dipikir Arum kemudian. Ia hanya melongo ketika membungkukkan badannya. Kemudian terduduk lemah di tanah yang berdebu itu. Tatapannya kosong. Tak percaya tentang apa yang barusan terjadi.
Antara khayalnya yang terbang entah kemana dan sadarnya, sesuatu yang diluar nalar manusia terjadi. Jalanan aspal, rumah-rumah penduduk yang berdiri kokoh, ibu-ibu yang bergossip di toko kelontong, serta apa-apa yang ada di zaman itu, lagi-lagi terbiaskan menjadi cahaya silau yang merusak mata bila dipandang 5 detik. Sama seperti Wira yang menghilang dimakan cahaya. Dunia seperti diputar berlawanan dengan arah jarum jam, diputar amat cepat bagai globe yang biasa dimainkan Arum di ruang kelasnya. Namun, Arum tak merasakan apa-apa.
Arum mencubit pipinya. Bundar mata Arum terbelalak! Arum berdiri takjub. Suasana kerajaan pekat terasa. Perempuan desa memakai kemben, lelaki memakai sarung dan bertelanjang dada, anak-anak memainkan permainan tradisional yang samar-samar dilupakan oleh anak-anak zaman sekarang, serta….
“Woro-woro! Woro-woro!” sontak, setiap aktivitas masyarakat terhenti. Merapat pada arah datangnya suara.
“Wahai penduduk kerajaan Sok Parse. Sesuai titah dari Baginda Raja Buto Ireng, setiap warga wajib menyerahkan tiga per empat dari hasil usahanya. Bila tidak, istri serta anak-anak kalian yang akan dijadikan budak kerajaan. Atau nyawa kalian jadi upeti itu,” lantang lelaki berbadan kekar berbaju bagus yang dilengkapi aksesoris dari emas yang ada di kepala serta pergelangan tangan. Ia gagah dengan mengendarai kuda coklat yang gagah pula.
Setelah menyampaikan woro-woro, lelaki yang diketahui sebagai Patih Singo Petteng kerjaan Sok Parse tersebut bersama prajuritnya pergi meninggalkan keramaian penduduk. Mereka melewati Arum yang sedang melongo. Memandang Arum dengan aneh. Karena ia satu-satunya orang yang berpakaian bagus saat itu, pakaian modern. Kaos lengan panjang warna pink lembut dipadukan celana jeans ketat dengan ujung meruncing di bagian bawah, -masyarakat zaman modern sering menyebutnya celana pensil-. Namun, Patih Singo Petteng tak acuh.
Selepas Patih Singo Petteng dan prajurit meninggalkan tempat tersebut, masyarakat berdiskusi, menggerutu satu sama lain. “Bagaimana bisa membayar upeti? Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makan saja hanya setengah hari terpenuhi,” bisik-bisik seseorang mengganggu telinga Arum. Penuh iba.
“Padahal, saya kira bermukim di tempat ini akan membuat hidup kita jadi lebih baik. Kabur dari Kerajaan Barat. Tapi, sejak Buto Ireng serta pengikutnya kalah dari perang dan kabur kemari juga, didirikanlah kerajaan Sok Parse yang membuat hidup kita sama menderitanya seperti dulu,” sesal seorang wanita paruh baya yang menggenggam geram seikat sayur pakis yang baru saja dibelinya.
“Sudahlah, bu. Sabar…” seorang lelaki yang lebih tua dari wanita itu menenangkannya. Rupanya, ia adalah suaminya. “Saya usahakan akan membayar upeti agar keluarga kita selamat.”
“Saya kabur dari Kerajaan Blambangan. Berharap ada lahan yang nyaman tanpa kekuasaan raja. Tapi…” kalimat lelaki tua yang telah beruban terpotong, pahit mengingat masa kerajaan Blambangan yang lebih baik daripada di kerajaan Sok Parse ini.
Arum menggeleng sendiri. Ia hanya mengamati keadaan sekitar dengan matanya yang binar dan polos. Meninggalkan kerumunan orang tadi yang sama sekali tak menggubrisnya. Di tengah perjalanan yang entah kemana kaki Arum menapaki jejal-jelal jalanan yang bergerigi oleh bebatuan, ia melihat seorang yang tak asing baginya.
Dua orang berpakaian putih-putih terlihat amat suci sedang beristirahat di bawah pohon asam yang amat kokoh. Teduh sekali di sana. Mereka berbagi air yang disimpan dalam kendi serta nasi gulung yang kelihatannya amat lezat bagi Arum. Arum menelan ludah. Mendekati dua orang suci itu.
Seorang telah tua, memiliki janggut putih serta memakai surban yang dililitkan di atas kepalanya. Sedangkan satunya masih muda, umurnya sekitar 16 tahunan. Namun, punya rahang kokoh yang menunjang ketampanan dan kharismanya. Kak Wira, kah?. Melihat Arum yang semakin mendekat pada kedua lelaki itu, lelaki tua menyambutnya dengan ramah. “Cah ayu, kenapa kamu sendiri di dalam hutan ini? Amat berbahaya.”
Arum menggeleng.
“Kamu lapar, bukan?” tanya lelaki yang lebih muda kepada Arum.
Arum mengangguk.
“Muridku, Wira Bagus Prasetyo. Baru saja gagakku berkata bahwa ada seorang raja yang bengis terhadap rakyatnya. Ia membebaninya dengan upeti yang sangat besar,” sambung lelaki tua itu setelah gagak mata-matanya telah datang. Arum mendengarkan penuh antusias sambil mulutnya yang penuh mengunyah makanan.
“Menurut penerawanganku, akan banyak nyawa yang melayang sia-sia karena rakyat di kerajaan itu banyak yang tak bisa membayar upeti.”
“Jadi, apa yang seharusnya kulo lakukan, guru?”
“Datanglah ke kerajaan itu! Aku dengar, nama kerajaannya ialah Sok Parse. Sebaiknya malam ini kamu harus berkemas dan menuju kerajaan itu. Namun, aku tak bisa mendampingimu. Aku harus segera kembali ke padepokan.”
“Kulo siap, guru.”
“Bawalah ini, tanamlah sebelum engkau bertarung dengan Raja yang bengis itu,” Ki Ageng Kertasoma, guru Wira memberikan 5 biji pohon asam pada Wira Bagus.
Wira Bagus segera berkemas, manjalankan titah gurunya, Ki Ageng Kertasoma. Sedangkan Arum, selepas ia menghabiskan makanannya, ia terlihat ketakutan. Tak membayangkan apa yang akan terjadi pada pertarungan antara pendekar dan Raja. Apakah akan ada banyak darah? Siapa nanti yang akan menang? Bagaimana kak Wira memenangkannya sedangkan Raja punya banyak prajurit. Tapi, kak Wira hanya punya 5 biji pohon asam? Arum jadi teringat tentang sinetron di salah satu stasiun televisi yang gemar menayangkan tentang kisah kerajaan. Gelisah hati Arum. Sialnya, Wira Bagus mengajak Arum ke kerajaan Sok Parse.
Menempuh hutan belantara, siang-malam jadi teman perjalanan, serta hewan buas silih berganti ‘mengawasi’ Arum dan Wira Bagus. Rasa-rasanya, Arum beranjak dari kampung kerajaan Sok Parse sampai bertemu Wira Bagus dan Ki Ageng hanya butuh beberapa langkah, mengapa sekarang bisa jadi sejauh ini? Tak habis pikir.
Hingga ketika bekal Wira Bagus dan Arum habis, sampailah mereka di tempat tujuan. Tempat dimana pertama kali Arum sadar dunia modern-nya secara ajaib berganti jadi zaman kesengsaraan, mundur beratus tahun silam. Kebetulan, pada waktu yang bersamaan saat mereka menginjakkan kaki di wilayah kerajaan tersebut, Patih Singo Petteng bersama prajuritnya sedang menagih upeti.
Nanar, mata Wira Bagus menangkap proyeksi rakyat yang diperlakukan semena-mena. Hasil kebun, hewan ternak, hasil berdagang, dan hasil jerih payah rakyat lainnya dirampas! Kakek tua renta yang sudah tak dapat bekerja pun tak luput dari kekejaman penguasa. Alhasil, cucunya yang cantik jelita dipaksa menjadi budak di kerajaan. Sungguh malang.
“Kak Wira, kak Wira…” polos Arum menarik-narik baju putih Wira Bagus.
“Ya?”
“Kita kan sama-sama rakyat Indonesia. Tapi, kenapa Raja tega menyiksa rakyatnya sendiri? Hubungannya tidak H-A-R-M-O-N-I-S.”
Wira tersenyum, mengusap lembut kepala Arum, “Mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok. Kamu masih terlalu kecil tahu masalah politik, cah ayu”
“Wahai, pemuda! Serahkan upetimu!” bentak Patih Singo Petteng dengan amat berwibawa namun tegas pada Wira Bagus.
“Nyuwun sepuro. Saya tidak memiliki harta apapun.”
“Ah! Omong kosong! Prajurit, periksa buntalan yang ia bawa!”
Prajurit memeriksa buntalan yang dibawa oleh Wira Bagus. Namun, yang ada hanyalah baju-baju Wira Bagus.
Tak ada benda berharga yang pantas dijadikan upeti. Namun, melihat perawakan Wira Bagus yang gagah bak pendekar, Patih Singo Petteng berfikir akan mengangkatnya sebagai pimpinan perang, mungkin. Tapi, ia tak akan menyangka bahwa kedatangan Wira Bagus sesungguhnya ialah memberontak kepemerintahan Raja Buto Ireng.
“Sebaiknya, kamu ikut saya ke kerajaan menghadap Raja Buto Ireng!”
Sesampainya di pusat pemerintahan kerajaan Sok Parse, Wira Bagus dihadapkan kepada Raja Buto Ireng. Arum berdiri di samping Wira Bagus. Namun, tetap tak dihiraukan oleh penghuni kerajaan.
“Ampun, Baginda. Pemuda ini begitu lancang masuk wilayah kerajaan Sok Parse. Selain itu, ia tak membayar upeti,” terang Patih Singo Petteng sambil bersimpuh di hadapan Raja.
“Jadi, untuk apa kau buang waktuku hanya untuk meladeni dia? Mengapa kau tak penggal saja kepalanya?!” Sang Raja rupanya murka.
“Ampun, Baginda. Setelah hamba pikirkan, ada baiknya kita jadikan dia panglima perang.”
“Apa?! Mohon ampun, Patih Singo Petteng dan Raja Buto Ireng yang berkuasa, lebih baik kulo mati daripada dijadikan pembantu kerajaan yang bengis!” Wira Bagus menyela.
Raja tersentak mendengar jawaban Wira Bagus. Biasanya, tak ada satu pun yang menentang titahnya. Namun, kali ini ia temukan seorang pemuda pengembara yang tak kenal ancamannya.
“Baiklah, anak muda. Aku terkesan dengan keberanianmu. Aku tak ingin kamu mati sia-sia. Aku ingin bertarung denganmu. Sampai titik darah penghabisan!” tantang Raja.
“Ampun, Baginda. Apakah baginda yakin?” tanya Patih dengan sangat berhati-hati.
“Kau meragukanku? Mana bisa pemuda itu bisa mengalahkanku dengan tangan kosongnya?”
“Baiklah! Saya terima tantangan Raja,” Wira Bagus menyanggupi. Arum yang masih polos menelan ludahnya. Benar-benar seperti yang ada di televisi! Wira Bagus kemudian menyambung kalimatnya, “Namun, sebelum bertarung, hamba minta izin untuk menanam biji pohon asam ini di taman kerajaan.”
“Hahaha…. Silahkan, aku anggap itu permintaan terakhir.”
Tanpa diaba-aba, Wira Bagus menanam biji pohon asam itu di taman kerajaan Sok Parse. Semoga kamu bisa membantuku. Desah Wira Bagus dalam hati. Setelah menanamnya, pertarungan pun dimulai. Raja menggunakan pedang yang terhunus mengerikan. Sedangkan Wira Bagus hanya mengandalkan ilmu silatnya serta do’a yang tak henti ia panjatkan untuk keselamatannya. Kini, Arum berdiri jauh dari Wira.
Wira berdiri di sekitar tanah yang telah ditanami biji pohon asam. Wira Bagus dengan lincah dapat menghindari serangan-serangan yang dilancarkan oleh Raja Buto Ireng. Hingga kesempatan Wira Bagus untuk menyerang Buto Ireng, tiga kali pukulan ke arah dada, 3 kali pukulan ke arah perut, serta 1 kali pukulan pamungkas yang diajarkan oleh Ki Ageng cukup membuat Buto Ireng bermandikan darah. 1 kali pukulan lemah ke arah dada atau perut, akan membuat Buto Ireng mati. Namun, Wira Bagus membiarkan Buto Ireng agar tetap hidup, dengan harapan sifatnya akan berubah.
Sangat heroik apa yang telah dilakukan Wira Bagus. Memang sifat licik tak akan lepas dari hati Buto Ireng. Ia memulihkan dirinya. Membaca aji-ajian yang membuat proses penyembuhannya lebih cepat. Kemudian, Buto Ireng mendorong dari belakang badan Wira Bagus. Sehingga, tubuh Wira Bagus tersungkur di atas rerumputan kerajaan. Buto Ireng dengan sigap mengambil pedangnya. Menghunuskan ke leher Wira Bagus.
“Kalaupun ini akhir dari hidupku, aku berharap rakyat kerajaan ini tidak menderita lagi,” Wira mengendus pasrah, melepaskan kebencian yang ia punya. Berharap kematiannya takkan sia-sia.
Seketika itu, keajaiban datang! Biji pohon asam yang ditanam Wira Bagus pertumbuhannya tak terduga. Amat cepat! Benih yang tengah menyaksikan pertarungan itu geram. Tumbuh bersama kebencian karena kesewenang-wenangan serta kelicikan Buto Ireng.
Batang, daun, ranting, akar, serta buah pohon asam yang baru tumbuh itu terlihat amat tua. Seperti pohon yang telah berusia puluhan tahun. Dahan dan ranting yang biasanya rapuh serta mudah patah, menjadi kekar, lebih kekar dari tubuh Buto Ireng, Singo Petteng, serta prajuritnya. Menggapai-gapai tubuh Buto Ireng yang siap memenggal leher Wira Bagus. Kemudian, dahan dan ranting pohon asam melilitnya.
Pohon asam mengambil pedang dari tangan raja, tak ada ampun lagi, pohon asam menghunuskannya pada Buto Ireng. Raja susah bernafas, darah segar yang cair jatuh perlahan dari leher raja yang disentuh oleh mata pisau yang tajam. Nafas Arum tertahan di tenggorokan, ia tersengal mendapati kejadian tersebut. Biasanya, ia melihat leher sapi terpotong, disembelih untuk qurban. Tapi ini? Ini sungguh nyata. Pembunuhan yang dilakukan oleh pohon asam pada manusia!
Nafas para penghuni kerajaan tertahan. Tegang. Beberapa saat kemudian, terdengar sorak sorai dari penghuni kerajaan yang ternyata adalah budak. Mereka berduyun-duyun mengerumuni Wira Bagus dan pohon asam. Sepeninggalan Raja Buto Ireng, kekuasaan jatuh pada Wira Bagus. Ia merawat dengan penuh kasih dan cinta pohon asam yang telah menolongnya. Baginya, pohon asam itu simbol pelindung sekaligus simbol ‘pembersihan’ daerah bekas kesewenang-wenangan penguasa.

Jam berdentang lima kali. Arum kembali membuka buku IPSnya. Tiba-tiba, ia teringat kembali pesan terakhir yang disampaikan kak Wira sambil mengusap poni Arum, “Arum, terima kasih selama ini kamu menjaga dan bermain dengan pohon asam ini. Saya juga ikut bersedih karena kehilangan pohon asam di daerah ini. Namun, apa daya. Zaman telah berubah. Memang sudah saatnya pohon asam beristirahat bersamaku, di tempat yang telah dijanjikan. JASMERAH! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Arum menyeringai, “Asembagus!”

  • Perbedaan Karangan Non ilmiah, Semi Ilmiah, dan Ilmiah

  1. Non Ilmiah (Fiksi) adalah Satu ciri yang pasti ada dalam tulisan fiksi adalah isinya yang berupa kisah rekaan. Kisah rekaan itu dalam praktik penulisannya juga tidak boleh dibuat sembarangan, unsur-unsur seperti penokohan, plot, konflik, klimaks, setting dsb.
  2.  Semi Ilmiah adalah sebuah penulisan yang menyajikan fakta dan fiksi dalam satu tulisan dan penulisannyapun tidak semiformal tetapi tidak sepenuhnya mengikuti metode ilmiah yang sintesis-analitis karena sering di masukkan karangan non-ilmiah. Maksud dari karangan non-ilmiah tersebut ialah karena jenis Semi Ilmiah memang masih banyak digunakan misal dalam komik, anekdot, dongeng, hikayat, novel, roman dan cerpen.Karakteristiknya :  berada diantara ilmiah
  3. Ilmiah adalah  karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodolog penulisan yang baik dan benar.

Daftar Pustaka

http://kbbi.web.id/ilmiah
http://greenjournalist.net/ragam/ini-10-tempat-paling-tercemar-di-dunia/
http://www.faktailmiah.com/
http://www.merdeka.com/teknologi/bbm-naik-tenang-masih-dapat-gunakan-kotoran-manusia-dan-sampah.html
http://bayuahmadprakoso.blogspot.com/2014/11/pemanfaatan-bahasa-indonesia-dalam.html
http://cerpenmu.com/cerpen-sedih/gadis-cantik-dari-dunia-bawah.html

No Response to "Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada tataran ilmiah, semi ilmiah, dan non ilmiah"

Posting Komentar